Selasa, 10 Januari 2012

PELESTARIAN ADAT BUDAYA LAMPUNG

SEGHAYO SUTTAN PESIRAH DIPUNCAK NUR

PELESTARI BUDAYA LAMPUNG


Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro

BANDAR LAMPUNG -Kepunahan budaya lokal akibat terpaan budaya global tentunya merugikan bangsa Indonesia.
Apalagi bagi Lampung, yang budayanya lebih sempurna karena memiliki aksara dan bahasa sendiri. Namun tidak banyak warga Lampung yang peduli terhadap pelestarian budaya nenek moyangnya tersebut.
Di antara yang sedikit itu, terdapat Mawardi Harimana Sultan Pengiran Pesirah Mergo (56). Ketua Paguyuban Seni Budaya Lampung Tangkai Mas Jaya ini menyatakan gelisah terhadap kelestarian budaya Lampung mengingat kian minimnya minat generasi muda untuk mempelajarinya.
Saat ini memang melalui mata pelajaran muatan lokal, aksara Lampung dipelajari dari SD hingga SMP. Tapi itu saja belum cukup, karena bahasa dan aksara yang dipelajari itu tidak digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Demikian pula dengan atraksi budaya dan pesta-pesta adatnya, baru mulai mendapat tempat sejak Sjachrudin ZP menjadi Gubernur Lampung. Bahkan kini gedung-gedung pemerintah dan swasta mulai dihiasi dengan motif-motif khas Lampung.
Mawardi mengusulkan agar ke depan, nama-nama gedung perkantoran dan toko juga dilengkapi dengan aksara Lampung, seperti di Thailand dan Jepang. “Sehingga begitu ada tamu, mereka benar-benar merasa berada di Lampung,” ujarnya dalam sebuah percakapan di rumah adatnya yang asri dan luas di bilangan Kota Sepang, Kedaton, Bandar Lampung.
Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pelestarian dan pengembangan adat budaya Lampung, Mantan pejabat Pemprov DKI Jaya ini membangun rumah adat seluas 6.000 meter persegi yang diberi nama Nuwo Balak Kedatun Keagungan Lampung yang di dalamnya terdapat berbagai benda budaya. Pembangunannya dimulai tahun 1995 dan baru selesai lima tahun kemudian.
Persiapan lahan dan kayu sudah dimulai jauh sebelum pembangunan dikerjakan. Bahkan jenis kayu tembesu, unglen, dan lain-lain didatangkan dari Jambi jauh sebelum rumah tersebut dibangun. Kayu-kayu berkualitas tinggi tersebut diawetkan secara tradisional dengan cara dibenamkan dalam lumpur bertahun-tahun agar tidak dimakan rayap. Sekarang rumah ini tidak saja digunakan untuk atraksi, pesta, atau acara adat dan budaya, melainkan juga menjadi objek wisata budaya Lampung.

“Sai Bumi Ruwa Jurai”
Mawardi mengakui budaya Lampung terdiri dari dua (rua) jurai, yakni pepadun dan sai batin sehingga disebut SaiBumi Ruwa Jurai (satu bumi yang dibentuk oleh dua ragam adat istiadat). Adat pepadun yang dijalankan warga yang bermukim di pedalaman dan sai batin di wilayah pesisir.
Contohnya, sewaktu Gubernur Sjachrudin membangun menara siger di Bakauheni yang sigernya berjumlah tujuh, sempat dipersoalkan tokoh adat pepadun yang jumlah sigernya sembilan. Menurut Mawardi, yang berdiri di Bakauheni tersebut bukan siger, sebab menurut adat budaya Lampung, siger adalah tutup kepala pengantin wanita. Dengan begitu menara siger di Bakauheni adalah bangunan yang atapnya bermotif siger. Jadi berapa pun jumlah siger-nya tidak perlu dipersoalkan.
Demikian pula berbagai even budaya yang dilakukan di Pemprov Lampung, sah-sah saja menggunakan budaya pepadun atau sai batin. Malah, semakin banyak even budaya yang dilaksanakan semakin baik dalam upaya pelestarian budaya lokalnya.
Dalam rangka pelestarian budaya lokal, ia menyarankan jangan hanya terbatas pada bentuk fisik seperti tarian, dan atraksi tapi yang lebih penting adalah pewarisan nilai-nilai dan falsafah budaya. Misalnya, piil pesenggiri yang berarti semua gerak langkah masyarakat Lampung dalam kehidupan sehari-hari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa(hatinurani).
Dalam penerapannya sehari-hari akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sehingga bila dibutuhkan akan muncul keberanian untuk berkorban, baik harta maupun nyawa sekalipun demi mempertahankannya.
Begitu juga nilai-nilai lainnya berupa sakai sembayan, yang berarti masyarakat Lampung senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Nilai-nilai falsalah budaya itulah yang di mata suami Hj Sofia Hanum Sutan Mahkota ini mulai banyak ditinggalkan. Padahal jika warga Lampung menerapkan sepenuhnya nilai sakai sembayan, tentu daerah ini sudah lama terbebas dari kemiskinan karena ada kebersamaan dan tolong-menolong di antara sesama warga.
Demikian pula penerapan piil pesenggiri, akan menjadikan Lampung bebas dari korupsi karena kuatnya keimanan warganya, terutama pemimpinnya. Ia percaya nilai-nilai budaya tersebut tidak akan mati dimakan usia.
Tapi apakah generasi penerus masih menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? Itulah yang dirisaukan Mawardi. Dicontohkannya, makin banyak generasi muda yang enggan berbahasa daerah karena merasa kolot dan terbelakang jika menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
“Ini masalah besar karena bahasa Lampung bisa punah dalam satu generasi ke depan,” ia mengkhawatirkan. Lagi pula, banyak orang tua yang memandang tidak perlu mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang bersuku asli Lampung juga tidak menggunakan bahasa daerah di lingkungan rumah tangganya.
“Oleh karena itu, tugas berat pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat Lampung adalah ikut peduli pada kelangsungan budayanya jika ingin tetap mengaku sebagai warga Lampung,” imbaunya. Jangan biarkan Mawardi sendiri yang risau dan gamang terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya lelulurnya. n

Source: Sinar Harapan

FAMILY: SEGHAYO SUTTAN PESIRAH DIPUNCAK NUR





KEDATUN KEAGUNGAN (SARANA ADAT LAMPUNG)

RATO (KERETA KENCANA)

IJAN TITEI (TANGGA NAIK)
LAMBANG : 19
PADANG MATAHAREI (PINTU CAHAYA MATAHARI)
SELASAR TUKEU
SUTTAN PENGIRAN PESIRAH MARGA DIPUNCAK NUR

Rabu, 27 April 2011

CAHAYA FALSAFAH ADAT BUDAYA LAMPUNG


M.Harirama
 CAHAYA FALSAFAH ADAT BUDAYA LAMPUNG
Setiap titi gemati adat/budaya pasti memiliki falsafah yang mengandung berbagai hikmah bagi masyarakat, demikian pula falsafah adat dan budaya Lampung yang telah tertata sejak berabad-abad yang lalu, dalam rangka mengatur tatanan kehidupan seluruh masyarakat yang ada di daerah lampung.
Oleh karena itu pemahaman yang mendalam akan makna yang tekandung di dalamnya, sangatlah diperlukan untuk digali dan diterapkan secara baik dan benar, tidak mustahil akan terpancar Nur budaya Lampung yang mampu mengantarkan pada tatanan kehidupan masyarakat Lampung yang serasi secara keseluruhan.Terlebih saat ini rasa persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat, tengah di rongrong oleh ancaman perpecahan (disintregasi) seperti yang terjadi pada daerah lainnya di Nusantara.
Tanpa bermaksud hendak menggurui, berikut pengertian dari beberapa falsafah yang tekandung dalam adat/budaya Lampung adalah:
Piil Pesenggiri:
Piil Pesenggiri bagi masyarakat Lampung baik penduduk asli  maupun pendatang, memiliki makna sebagai way of life (cara hidup).Maksudnya semua gerak dan langkah dalam kehidupan sehari-hari merupakan penerapan dari kebersihan jiwa(hati nurni) Itu berarti secara tidak langsung telah mempertahankan status dirinya sebagi insan Mulia baik disisi Tuhan YME,maupun terhadap sesama manusia.
Dari tindakan ini akan tercermin adanya kemanunggalan antara keimanan dan kemanusiaan pada individu yang bersangkutan.Sehingga bila dibutuhkan dapat muncul rasa berani berkorban  baik harta bahkan nyawa sekalipun demi mempertahankan kesucian status mulia tersebut.Akan tetapi pengorbanan yang diharapkan bukanlah pengorbanan yang yang sia-sia atau semena-mena yang tidak jelas  peruntukannya.
Sakai Sembayan:
Beranjak dari pemahaman Piil Pesenggiri maka perilaku sehari-hari masyarakat Lampung senantiasa akan menjaga sikap saling tolong- menolong,terutama terhadap kaum yang lemah seperti para janda dan anak yatim piatu dalam pengertian yang menyeluruh baik lahir maupun batin.
Nemui Nyimah:
Istilah ini mengandung makna keterbukaan terhadap seluruh masyarakat, baik kepada yang baru kenal maupun yang lama terjalin hubungan.Tindakan ini merupakan penerapan dari prinsip membina tali silahturahmi baik terhadap generasi sebelumnya maupun generasi sekarang dan kepada generasi yang akan datang .
(para penerus).
Menjaga hubungan dengan generasi sebelumnya diupayakan lewat cara kesediaan mengenali,memahami dan melestarikan peninggalan para terdahulu yang sifatnya sudah sangat baik, bernilai budaya dan bermoral tinggi serta berkenan menambah kekurangan-kekurangan yanga da untuk disesuaikan dengan kondisi zaman,tentunya tanpa menyalahi makna yang terkandung di dalamnya.
Sementara pengertian menjaga hubungan dengan generasi sekarang dimaksudkan dengan membina hubungan pergaulan sehari-hari dengan menyertakan tindakan saling membantu baik moril maupun materiil sesuai kemampuan dan kebutuhan.
Sedangkan yang dimaksud menjalin hubungan dengan generasi yang akan datang ditujukan dimana masyarakat Lampung mampu meninggalkan atau mewariskan karya-karya yang baik yang dapat dijadikan contoh teladan bagi generasi  berikutnya.
Nengah Nyappur
Merupakan salah satu upaya masyarakat Lampung untuk membekali diri dari  baik dari sisi intelektual maupun spiritual, sehingga memiliki kemampuan dalam mengorginisir isi langit dan bumi untuk kemudian dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemakmuran seluruh masyarakat yang ada di Lampung serta masyarakat nusantara pada umumnya.
Bejuluk Beadek
Adalah salah satu sikap dari masyarakat Lampung yang mencerminkan pada kerendahan hati dan kebesaran jiwa untuk saling menghormati terhadap sesama keluarga atau di luar keluarga, dengan pemberian gelar-gelar yang di sesuaikan dengan garis  nasabdan sabab, sehingga dalam tatanan kehidupan sehari-hari mempunyai peranan di ingkungan masyarakat itu sendiri

Beranjak dari makna yang terkandung dalam falsafah adat diatas,maka prosesi adat dan sarana adat Lampung yang sejak berabad-abad yang lalu dipakai masyarakat adat Lampung mempunyai makna-makna yang dalam,yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia sebagai Insan Hamba Allah SWT,yang diwajibkan unuk menjaga hubungan dengan Sang Pencipta dan sesama manusia serta alam semesta.

Oleh karena itu masyarakat adat Lampung pada masa lalu sangat mengerti,menghayati,mengamalkan dan melestarikan falsafah adat budaya Lampung tersebut,sehingga masyarakat tertata dan tersusun dengan rapi dalam lingkunagn satu kedatuan/keratuan/ marga(mergo)/buai,oleh karena itunya daerah Lampung dikenal dengan bumi   Sai Kayo Rayo.
Pengertian Kayo Ghayo tersebut adalah Kayo(Kaya) karena daerah Lampung pada saat itu,sejak zaman dahulu daerah ini terkenal dengan hasil bumi yang melimpah ruah,maka tidak mengherankan kalau Portugis dan Bangsa-Bangsa lain mengincar kopi,lada,dan rempah-rempah lainnya.Daerah Lampung sebagai daerah penghasil rempah-rempah tersebut menarik , juga banyak suku bangsa Nusantara yang datang ke Lampung dalam menapaki kehidupannya.Karena prinsip-prinsip tatanan kehidupan yang dianut masyarakat Lampungtersebut.Kedatangan masyarakat luar diterima dengan tangan terbuka dalam satu kesatuan masyarakat adat.Sebagian masyarakat pendatang tersebut diberikan hak atas pengelolaan tanah untuk kehidupan masyarakat pendatang dimaksud.
Sedangkan Ghayo dalam pengertian masyarakat adat Lampung adalah kemampuan untuk menciptakan rasa hati yang kaya karena dilandasi spiritual/rohani yang baik,sehingga kehidupan masyarakat secara lahir maupun bathin mengalami tingkat yang sempurna terbentuklah kerajaan dihati para bangsawan Lampung.
Oleh karena itu dalam rangka menerapkan Sila-Sila dalam Falsafah Negara Republik Indonesia,Pancasila yang telah disepakati bersama seluruh masyarakat Indonesia sebagai landasan idiil,dimana seluruh prikehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat harus dilandasi oleh
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawarakatan/perwakilan.
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian apabila falsafah adat/budaya Lampung tersebut diterapkan dengan sebenar-benarnya,maka terdapat suatu kesesuaian dengan Landasan Idiil Pancasila yang dapat melahirkan suatu tatanan masyarakat Indonesa,khususnya daerah Lampung yang dilandasi oleh manunggalnya,Keimanan dan Kemanusiaan yang dapat menghindarkan masyarakat dari malapetaka kehinaan dan keashoran, karena dengan landasan keimanan dan kemanusiaanlah yang dapat menghantarkan : hukum sampai kepada keadilan ,menghantarkan ekonomi sampai kepada pemerataan, menghantarkan penataran kepada keteladanan,menghantarkan ilmu pengetahuan sampai kepada pengayoman, menghantarkan perwakilan sampai pada amanat, menghantarkan ibadah sampai kepada Taqwa Allah,dan menghantarkan syukur sampai kepada Ridha Illahi.
Selain itu tanpa manunggalnya Keimanan dan Kemanusiaan tersebut diatas,maka masyarakat  akan menuju kepada hal yang tidak kita inginkan seperti antar lain : Keadilan yang dituju tetapi kedzaliman yang ketemu, Pemerataan ekonomi yang dicita-citakan,akan tetapi jurang pemisah yang terjadi Ketauladanan yang diharapkan akan tetapi ketipuan yang nyata yang merajarela, pengayoman yang didambakan akan tetapi panas derita nestapa yang menimpa ,amanat yang diharapkan akan tetapi khianat yang menghadang. Dalam kesempatan ini penghimpun tulisan ini mengharapkan doa restu dari para pembaca sekalian Nur Budaya Lampung yang terkandung dalam falsafah adat/buaya Lampung dapat tumbuh dan berkembang di bumi Lampung dan Nusantara. Sehingga dapat memancarkan sinarnya dan dapat menerangi seluruh tatanan kehidupan masyarakat secara lahir/dhlohir.jasmani maupun rohani/batin
By: M.Harirama